Siapa teladan hidup bangsa yang menginspirasi saya dari beberapa
tokoh yang raganya telah meninggal seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur)
dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Jawaban itu adalah: Buya Ahmad Syafii
Maarif.
Keteladanannya bukan karena saya beroleh kesempatan
berharga telah menuliskan pandangan-pandangan saya tentang Buya Syafii
yang terekam dalam otobiografi intelektualnya berjudul Muazin Bangsa dari Makkah Darat, atau karena ia pembela hak-hak perempuan yang selama ini saya geluti sebagaimana yang terdapat dalam banyak tulisannya.
Lebih
penting dari itu, beliau di mata saya adalah seorang negarawan yang
tulus, jujur, dan berani menyuarakan hati nuraninya, meski ia ke
gelanggang sendiri melawan arus besar, sekalipun nyawa taruhannya.
Kejujuran,
ketulusan dan keberanian itulah yang ia buktikan pada saat-saat
sekarang ini. Di usianya yang sudah 81 tahun, ia mampu menyuarakan
pemikirannya yang bening dan lantang di tengah-tengah arus massa besar
yang ditandai dalam aksi 4 Nopember 2016 lalu.
Contoh
dari suara jernih itu ia guratkan dalam tulisannya: “Akal sehat saya
mengatakan bahwa Ahok bukan orang jahat yang kemudian ditanggapi beragam
oleh berbagai kalangan.” Semua itu, lanjutnya, akibat dari fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tidak diteliti. “Semestinya lembaga
seperti MUI menjaga martabatnya melalui fatwa-fatwa yang benar-benar
dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab.”
Sebagai
profesor dengan integritas kuat dan sangat terpercaya dalam lingkungan
akademis, ia juga mempelajari secara cermat pernyataan Gubernur Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27
September 2016 tersebut. Simpulnya, “Tak ada satu kata pun dari
pernyataan Ahok yang mengandung penghinaan terhadap al-Qur’an, apalagi
ditambah-tambahi menghina ulama.” “Hanya otak sakit sajalah yang
berkesimpulan demikian.” (Kalimat terakhir saya kutip langsung).
Pernyataan
senada ia sampaikan dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 8
November 2016. Kebenaran, menurutnya, tidak bisa dikalahkan oleh emosi.
Dengan mengutip salah seorang pemenang hadiah Nobel, sebuah kata yang
benar lebih berat dari dunia ini.
Tulisan dan pernyataannya itu
menuai dukungan dan penolakan, bahkan di lingkungan organisasi yang
membesarkan dan pernah dipimpinnya, Muhammadiyah. Tapi, agaknya, Buya
Syafii tidak hirau dengan persetujuan atau perlawanan. Yang ia pedulikan
adalah orang harus jujur pada hati nuraninya sendiri, bersikap adil
pada siapa pun, termasuk pada orang yang tidak kita sukai, berani
menyuarakannya ke publik dengan membuka topeng beragam kepentingan dan
menjadikan sebuah isu menjadi tunggangan.
Peristiwa ini
mengingatkan saya pada sejarah keteguhan hidup Nabi Muhammad. Ia
didatangi perwakilan klan Bani Hasyim yang hendak menghentikan Muhammad
untuk menyampaikan misi kebenaran. Utusan itu berkata, “Hai Muhammad,
jika engkau menginginkan kekayaan, kami bersedia mengumpulkan semua
harta kekayaan kami untukmu hingga engkau menjadi orang terkaya di
antara kami. Jika engkau mencari kemuliaan, kami akan mengangkatmu
sebagai pemimpin kami; kami tak akan memutuskan perkara apa pun tanpa
persetujuanmu. Jika engkau ingin menjadi raja, kami bersedia menobatkan
dirimu sebagai raja kami.”
Menjawab utusan tersebut, Nabi Muhammad
mengatakan, “Aku tidak mencari harta kekayaan, tidak menginginkan
kemuliaan di tengah kalian, dan tidak berhasrat menjadi raja kalian. Aku
hanya ingin menyampaikan peringatan kepada kalian. Jika kalian mau
menerima apa yang kubawa, kelak kalian akan beruntung. Jika kalian
menolak apa yang kusampaikan, maka aku akan bersabar.”
Tentu saya
tak bermaksud membandingkan keteguhan sikap Buya Syafii dengan Nabi
Muhammad. Tetapi keteguhan sikap dan kekuatan karakter dari sangat
sedikitnya anak-anak bangsa inilah yang sesungguhnya membuat saya bangga
menjadi warga Indonesia. Negeri ini tidak hanya dibanggakan semata-mata
karena kekayaan alamnya, lebih penting dari itu adalah kebesaran
manusianya.
Kebesaran itu saya saksikan juga pada Buya Syafii
Maarif. Kebesarannya bukan karena kekuasaan dan titel yang disandangnya,
melainkan muncul dari kekuatan dirinya. Sebagaimana sebagian orang
Inggris yang tak bangga dengan wilayah jajahannya yang luas, tapi justru
mereka sangat bangga karena negerinya punya orang besar seperti
Shakespeare.
Sumber : Link Sumber
FESTIFAL POKER YANG DIADAKAN SETIAP TAHUN INI AKAN DIGELAR KEMBALI. KAMI SELAKU SITUS POKER ONLINE UANG ASLI AKAN MENGAJAK ANDA SEMUA UNTUK BERGABUNG BERSAMA KAMI DAN MERAIH SEMUA HADIAH YANG TELAH DISEDIAKAN TANPA DI UNDI
BalasHapusHUBUNGI KAMI !!
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
Posting Komentar
SILAHKAN BERKOMENTAR